Etika Mendengarkan Al-Quran: Menyambung Hati dengan Kalam Ilahi

Etika Mendengarkan Al-Quran Menyambung Hati dengan Kalam Ilahi

Ada saat-saat dalam hidup ketika kita mendengar sesuatu, bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati yang tergetar.

Al-Qur’an bukanlah sekadar bacaan, ia adalah pesan langit yang melintasi ruang dan zaman, menembus sekat-sekat kelelahan dunia, lalu jatuh perlahan ke dalam relung batin yang paling dalam.

Mendengarkan Al-Qur’an adalah pengalaman yang bersifat batiniah. Saat kalam Ilahi dibacakan, ini mengajak kita berpikir, mengingat, bahkan menangis.

Etika dalam menyimak Al-Qur’an bukan sekadar soal sopan santun. Ia mencerminkan seberapa besar kita menghargai sumber petunjuk itu sendiri.

Duduk dengan tenang dan menundukkan hati, bukanlah seremoni kosong, melainkan ungkapan iman dalam bentuk yang paling sederhana.

Dalil tentang Etika Mendengarkan Al-Qur’an

Etika mendengarkan Al-Qur’an bukan sekadar norma sosial dalam ruang keagamaan, ia memiliki akar yang kuat dalam syariat.

Dalam Islam, tata cara berinteraksi dengan kalam Ilahi tak pernah dianggap remeh, bahkan diatur langsung oleh wahyu.

Salah satu ayat yang menegaskan hal ini tertulis dalam QS. Al-A’raf: 204.

وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ۝٢٠٤

 

Artinya: “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kamu mendapat rahmat.”

Ayat ini tidak hadir sekadar sebagai seruan santun, melainkan sebagai perintah yang menyentuh dua dimensi sekaligus: fisik dan spiritual.

Diam di sini bukan sekadar hening, tapi ekspresi penghormatan. Mendengarkan pun bukan hanya hadirnya suara di telinga, melainkan kehadiran hati di tengah lantunan ayat.

Nabi Muhammad ﷺ juga memberikan teladan melalui sabda-sabdanya. Salah satunya adalah hadis riwayat Muslim yang berbunyi:

“Siapa yang tidak mengangkat suara saat membaca Al-Qur’an, maka dengarkanlah ia, karena orang yang mendengarkan akan diberi pahala seperti yang membaca.”

Hadis ini bukan hanya memberikan insentif pahala, tapi juga menunjukkan bahwa menjadi pendengar Al-Qur’an adalah peran aktif dalam medan ibadah.

Dengan kata lain, mendengarkan dengan adab adalah wujud kesadaran bahwa kita sedang berada di hadapan kalam Rabbul ‘Alamin.

Ini bukan rutinitas seremonial, tapi momen spiritual yang menuntut kehadiran sepenuhnya jiwa, raga, dan hati.

Etika Mendengarkan Al-Qur’an

Mendengarkan Al-Qur’an bukan sekadar memberi jeda pada lisan, melainkan memberi ruang bagi jiwa untuk menyimak pesan langit.

Ia membutuhkan kesiapan lahir dan batin, sebab yang sedang kita hadapi bukan sekadar suara, melainkan firman Tuhan.

Pertama, hadirkan diri dalam keadaan bersih, bukan hanya pakaian yang rapi, namun juga hati yang lapang.

Kemudian, duduklah dengan sikap tenang dan sopan. Ini bukan soal protokol, tapi tentang membingkai suasana batin agar lebih mudah tersambung dengan makna.

Tidak perlu membusungkan dada atau menunduk berlebihan, cukup hadir dengan kerendahan hati dan keterbukaan jiwa.

Saat ayat-ayat dilantunkan, hentikan sejenak dunia luar. Letakkan ponsel, tutup percakapan, dan kosongkan pikiran dari gangguan.

Konsentrasi adalah bentuk lain dari rasa cinta. Khusyuk tak selalu berarti menangis, namun bisa terwujud dalam ketulusan hati untuk benar-benar hadir.

Tertawa atau bermain-main saat lantunan Al-Qur’an terdengar bukan hanya sikap yang tidak layak, ini bisa melumpuhkan rasa hormat dalam hati.

Islam mengajarkan bahwa adab adalah pintu pertama menuju ilmu dan keberkahan, maka mendengarkan dengan sembarangan justru bisa menutup cahaya hidayah yang seharusnya datang bersama bacaan suci itu.

Terakhir, jauhi sikap masa bodoh. Karena setiap huruf dalam Al-Qur’an membawa petunjuk. Bila seseorang memperlakukannya dengan remeh, maka yang ia abaikan bukan hanya bunyi, tetapi juga peluang untuk disentuh langsung oleh kalam Allah.

Etika ini bukan serangkaian aturan kaku, melainkan cara lembut untuk mengatakan: “Ya Allah, aku ingin mendengar-Mu, dengan segala hormat dan rindu.”

Hikmah di Balik Etika Itu Sendiri

Etika dalam menyimak Al-Qur’an sejatinya adalah cermin dari bagaimana kita menempatkan wahyu dalam hidup.

Ini bukan sekadar aturan teknis atau tradisi yang diwariskan, melainkan ekspresi dari ta’zim atau sikap mengagungkan perkataan Tuhan semesta alam.

Setiap tindakan kecil, mulai dari duduk tenang hingga menenangkan pikiran saat ayat-ayat dilantunkan, menjadi simbol pengakuan bahwa yang sedang kita dengar bukan suara biasa.

Ia adalah sabda yang dulu diturunkan kepada Nabi, kini bergema di telinga kita mengundang untuk direnungi, bukan sekadar dilalui.

Lebih dari sekadar tata krama lahiriah, etika ini membentuk sensitivitas ruhani. Semakin kita disiplin menjaga adab, semakin lembut pula hati merespons pesan ilahi.

Ayat-ayat yang tadinya sekadar terdengar, mulai terasa berbicara. Ia menegur, menenangkan, bahkan kadang menyentil titik terdalam yang tak bisa disentuh oleh kata-kata manusia.

Dan di sanalah letak keindahannya, etika ini bukan untuk sekadar ditaati, tapi untuk menuntun jiwa membangun hubungan yang intim dengan Allah.

Mendengarkan dengan penuh penghormatan bukan berarti kita sekadar “hadir” saat tilawah berlangsung.

Tapi kita sedang membuka ruang dalam batin, mengizinkan kalam-Nya masuk, menetap, dan menumbuhkan iman.

Sebagaimana hati yang jernih lebih mudah menangkap cahaya, etika adalah upaya membersihkan jendela jiwa agar pantulan wahyu bisa terlihat lebih terang.

Bukan karena Al-Qur’an kurang cahaya, tapi karena terkadang hati kita terlalu buram untuk menyerapnya.

Penutup

Dalam setiap lantunan yang kita dengar dengan takzim, sesungguhnya kita sedang menyiapkan tempat bagi rahmat Allah untuk singgah.

Di tengah dunia yang riuh dan cepat, telinga kita begitu sering dipenuhi dengan hal-hal yang hampa.

Maka, momen menyimak ayat suci adalah kesempatan untuk kembali menata batin. Sebuah rehat spiritual, di mana iman bisa tumbuh dalam diam yang bermakna.

Jadikanlah setiap tilawah yang terdengar sebagai pintu menuju ketenangan, dan setiap adab yang kita jaga sebagai wujud cinta pada Sang Pencipta.


Great Students are Produced by a Great School

SMA International Islamic High School (SMA IIHS) adalah bagian dari Yayasan International Islamic Education Council (IIEC), yang didirikan di Indonesia sebagai simbol representasi umat Islam dunia.

SMA IIHS berbasis kepada lima pilar kurikulum yang dirancang sebaik mungkin dan terintegrasi menjadi satu kesatuan tak terpisahkan sehingga menjadikan sekolah ini sebagai sekolah kehidupan. Dimana mencetak anak didiknya, menjadi individu yang terisi segala aspek kehidupan baik itu pola pikir, rohani, jasmani dan keterampilan.

Keunggulan SMA IIHS

SMA International Islamic High School (SMA-IIHS) adalah sekolah Islam berkonsep asrama yang menerapkan ajaran-ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan Sunnah yang memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:

1. Sekolah Boarding bertaraf International.
2. Terakreditasi A.
3. Overseas Program ke Negara: Jordan, New Zealand, Canada, United State dan Australia.
4. Program Akselerasi.
5. Target Hafalan 2 Juz.
6. Fasilitas Sekolah yang Menarik.
7. Networking.
8. Mendapatkan Ijazah Nasional (Diknas) dan International (Ijazah yayasan IIEC).

Hubungi Kami

Mari bergabung bersama kami, menjadi bagian keluarga besar International Islamic Education Council (IIEC). Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, silahkan hubungi kami pada kontak yang tertera di bawah ini:

Email: admission@iiec-edu.com
Telp: +62-811-346-767
WhatsApp: +62-811-346-767

Pendidikan SMA IIHS adalah berdasarkan Al-Quran dan sunnah Rasul ﷺ yang menghantarkan manusia pada cakrawala ilmu yang terang benderang, melebur tembok-tembok perbedaan serta menembus tabir-tabir kegelapan.

Pendidikan ini mengantarkan anak-anak kita untuk dapat menjadi umat yang mampu mengimplemantasikan Islam secara utuh dan konsisten, karena dengan demikianlah mereka dapat menjadi lokomotif serta menjadi tulang punggung tegaknya kemuliaan hidup di muka bumi ini.

Enrollment SMA IIHS